Jumat, 09 September 2016

laporan hortikultura



CRISPING PADA PRODUK HORTIKULTURA SAYURAN BERDAUN
PERCOBAAN IV
( Teknologi Hasil Hortikultura )


Kelompok : 5

Arie D.D.S                                         B1314003
M.Khoiril Anwar                              B1314020
Aspianor                                            B1314006
M.Irfan Ansari                                  B1314018








PROGRAM STUDI TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
POLITEKNIK NEGERI TANAH LAUT
PELAIHARI
2016
BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Produk pasca panen berupa sayuran daun segar sangat diperlukan oleh tubuh manusia sebagai sumber vitamin dan mineral, namun sangat mudah mengalami kemunduran yang dicirikan oleh terjadinya proses pelayuaan yang cepat. Banyak laporan menyebutkan bahwa susut pasca panen relative sangat tinggi yaitu  berkisar 40%-50% khusunya terjadi dinegara-negara sedang berkembang. Salah satu penyebab terjadinya pelayuan adalah karena adanyan proses transpirasi atau penguapan air yang tinggi melalui bukaan-bukaan alami seperti stomata, hidatoda, dan lentisel yang tersedia pada permukaan dari produk sayuran daun tersebut. Kadar air (85-98%) dan rasio antara luas permukaan dengan berat yang tinggi dari produk memungkinkan laju penguapan air berlangsung tinggi sehingga proses pelayuan dapat terjadi dengan cepat.
Selain factor internal  produk, factor eksternal produk seperti suhu, kelembapan, serta kecepatan aliran udara berpengaruh terhadap kecepatan pelayuan. Mekanisme membuka dan menutupnya bukaan-bukaan alami pada permukaan produk seperti stomata dipengaruhi oleh suhu produk. Pada kondisi dimana suhu poduk relative tinggi maka buka-bukaan alami cendrung membuka dan sebaliknya pada keadaan suhunya relative rendah maka bukaan alami mengalami penutupan. Tingginya kandunga air produk menyebabkan tekanan uap air dalam produk selalu dalam keadaan tinggi dan bila kelembaban udara atau tekanan uap air diudara rendah maka akan terjadi deficit tekanan uap air yang menyebabkan  perpindahan air dalam produk keudara sekitarnya.
Bila sebaliknya, tekanan uap air diluar lingkungan produk lebih tinggi maka akan terjadi pergerakan air dari luar kedalam produk. Sangat memungkinkan untuk mendifusikan air kedalam  produk semaksimal mungkin untuk menyegarkan kembali dengan mengatur tekanan air serta mengendalikan mekanisme membuka dan menutupnya bukaan alami, dimana proses penyegaran ini dikenal dengan crisping .

1.2  Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk mempelajari peningkatan pemahaman kegunaan proses crisping dalam meningkatkan mutu fisik kesegaran produk, mampu melaksanakan prosedur crisping dan mampu menganalisis terjadinya crisping.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Produk pasca panen hortikultura berupa sayuran daun segar sangat diperlukan oleh tubuh manusia sebagai sumber vitamin dan mineral namun sangat mudah mengalami kemunduran yang dicirikan oleh terjadinya proses pelayuan yang cepat. Efektifitas crisping untuk memperbaiki vigoritas dan kesegaran dengan cara mencelupkan ke dalam air hangat dengan ragam suhu 30°C - 50°C dan lama perendaman 1-7 menit spesifik terhadap jenis produk yang erat kaitannya dengan struktur fisik-morfologisnya.
Secara umum proses crisping sayuran selada kriting, kangkung, bawang  prei dan sawi cina dengan pencelupan ke dalam air panas 30°C - 40°C efektif untuk  penyegaran kembali dilihat dari mutu warna, tekstur dan mutu visual secara keseluruhan, namun efektifitas optimum dari lama pencelupannya tergantung  pada jenis produk sayurannya. Proses crisping dengan menggunakan suhu perendaman 50°C tidak efektif dan justru berakibat pada penurunan mutu.
Proses crisping dengan suhu  perendaman 30°C dan 40°C selama 1-3 menit terhadap selada kriting dan bawang  prei cukup efektif memberikan pengaruh penyegaran mutu, dan adanya  peningkatan lama perendaman cenderung tidak memberikan efek penyegaran  berarti. Pada kangkung dan sawi cina, perendaman pada suhu 30°C dan 40°C selama 7 menit (Supartha,2007).
Secara umum suhu 45°C adalah suhu maksimum kritis bagi produk hortikultura karena mulai pada suhu tersebut produk sangat mengalami kemunduran dimana laju respirasi turun drastis dan cenderung menuju pada pelayuan dan kematian bila suhu ditingkatkan. Dengan karateristik morfologinya, bawang prei dan sawi cina yang telah meningkat suhunya sulit untuk didinginkan dengan cepat sehingga proses respirasi dan transpirasi masih  berlangsung tinggi yang berakibat pada penurunan bobot yang lebih tinggi dibandingkan dengan produk yang hanya dicelup pada suhu 30°C.
Suhu yang tinggi pada bagian tengah produk, sebagai akibat tidak dilakukan pendinginan yang cepat sebelum dilakukan penyimpanan dalam ruang berpendingin atau pre-cooling, menyebabkan laju respirasi dan transpirasi yang tinggi (Shewfelt, 1990). Proses crisping yang dilakukan terdiri dari dua tahapan yaitu tahap  pertama, perendaman dengan air pada suhu diatas suhu kamar tetapi dibawah suhu kritis (30  – 45°C), dengan waktu perendaman tertentu.
Tahap kedua adalah  pendinginan pada suhu dibawah 5°C. Menurut Kays (1991), pada kondisi dimana suhu suatu bahan hasil pertanian meningkat (lebih besar dari suhu lingkungannya) maka stomata atau lentiselnya cendrung membuka dan sebaliknya pada keadaan suhu relatif rendah maka stomata atau lentiselnya mengalami penutupan. Perlakuan perendaman akan mengakibatkan suhu sayuran dan buah mengalami  peningkatan, sehingga dengan kondisi tersebut, stomata atau lentiselnya akan membuka.
Disaat yang bersamaan lebih tingginya suhu air di lingkungan luar dibandingkan dengan suhu air dalam sayuran dan buah, mengakibatkan tekanan uap air dilingkungan pun menjadi lebih besar dari tekanan uap dalam sayur kailan, sehingga terjadi proses perpindahan massa (air) dari lingkungan ke dalam sayuran dan buah melalui proses difusi. Perpindahan massa secara difusi dari luar kedalam sayuran dan buah akan menjadi lebih optimal pada saat stomata atau lentisel membuka, sehingga air bisa berdifusi sebanyak-banyaknya.

BAB III
METODE

3.1  Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan pada hari Senin tanggal 14 Maret 2016 pukul 15.00 - 16.00 WITA di Laboratorium Pangan Teknologi Industri Pertanian Politeknik Negeri Tanah Laut.
3.2  Alat dan Bahan
3.2.1  Alat
Alat yang digunakan pada praktikum pembuatan crisping pada produk hortikultura sayuran berdaun adalah kompor gas, panci, thermometer, neraca analitik, tali rafia.

3.2.2  Bahan
Bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah bayam, kangkung, selada, seledri, sawi.

3.3  Prosedur Kerja
1.      Tentukan dua jenis sayuran bahan praktikum sesuai dengan ceriteria layu diatas.
2.      Potong atau pangkas bagian daun bahan yang rusak fisik, layu, fisiologis, dan busuk.
3.      Tentukan jumlah sample untuk setiap unit percobaan dan setiap unit percobaan diikat dengan tali rafia atau tali lainnya dan bukan karet.
4.      Disiapkan air hangat dengan menggunakan water bath dan suhu air diatur terpisah berturut – turut 30°C, 40°C, dan 50°C.
5.      Dicelupkan sayuran bahan percobaan dengan waktu berbeda yaitu 1,3 dan 5 menit.
6.      Disiapkan control yaitu sayuran tanpa dicelupkan dalam air hangat diatas.
7.      Ditempatkan sayuran yang telah dicelupkan diatas secepatnya kedalam kulkas pada bagian chiller dengan perkiraan suhu ± 5°C.
8.      Dilakukan penyimpanan sayuran bahan percobaan tersebut didalam kulkas selama semalaman atau 24 jam.
9.      Setelah penyimpanan dalam kulkas diatas. Amati mutu secara subjektif meliputi warna, tekstur, dan kenampakan visual secara keseluruhan dengan menggunakan ceriteria dan skalan numeric pada tabel pada variabel pengamatan. Pengamatan secara objektif dilakukan terhadap  bobot sayuran sebelum dan sesudah crisping.

PB           : Perubahan bobot (%)            ( PB = Bb Ba )
Ba           : Bobot sebelum crisping
Bb           : Bobot setelah crisping

BAB IV
           HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1  Hasil
Tabel 1.1 hasil perubahan bobot pada perlakuan crisping.
Suhu
Waktu
Berat Sesudah
Berat Sebelum
PB (%)
50°C
1 menit
8,53 g
7,76 g
0,77
3 menit
8,05 g
6,84 g
1,21
5 menit
7,68 g
7,40 g
0,28
40°C
1 menit
11,22 g
10,73 g
0,49
3 menit
5,67 g
5,28 g
0,39
5 menit
9,28 g
8,66 g
0,62
30°C
1 menit
7,70 g
9,00 g
-1,30
3 menit
15,55 g
16,27 g
-0,73
5 menit
12,71 g
14,28 g
-1,57

Control
6,77 g
8,11 g
-1,34

Tabel 1.2 skor hasil pengamatan warna, tekstur, dan kualitas visual secara keseluruhan.
Suhu
Waktu
Warna
Tekstur
Visual
50°C
1 menit
3
4
4
3 menit
4
4
4
5 menit
3
3
3
40°C
1 menit
4
4
4
3 menit
4
4
4
5 menit
4
4
4
30°C
1 menit
4
4
3
3 menit
3
3
2
5 menit
4
2
2

Control
3
2
2


4.2  Pembahasan
Dari praktikum yang telah dilakukan, dapat terlihat perbedaan perubahan bobot dari masing-masing suhu (Tabel 1). Rata-rata semua suhu dan sampel mendapatkan bobot yang bertambah dan turun antara 8,53 sampai 7,76 gr sedangkan bayam yang tidak mendapatkan perlakuan atau bayam control  bobotnya meningkat. Hal ini disebabkan karena Proses crisping yang dilakukan terdiri dari dua tahapan yaitu tahap pertama, perendaman dengan air pada suhu diatas suhu kamar tetapi dibawah suhu kritis (50 – 30°C), dengan waktu  perendaman tertentu. Tahap kedua adalah pendinginan pada suhu dibawah ±5°C. Menurut Kays (1991), pada kondisi dimana suhu suatu bahan hasil pertanian meningkat (lebih besar dari suhu lingkungannya) maka stomata atau lentiselnya cendrung membuka dan sebaliknya pada keadaan suhu relatif rendah maka stomata atau lentiselnya mengalami penutupan.
Perlakuan perendaman akan mengakibatkan suhu sayuran dan buah mengalami peningkatan, sehingga dengan kondisi tersebut, stomata atau lentiselnya akan membuka. Disaat yang bersamaan lebih tingginya suhu air di lingkungan luar dibandingkan dengan suhu air dalam sayuran dan buah, mengakibatkan tekanan uap air dilingkungan pun menjadi lebih besar dari tekanan uap dalam sayur, sehingga terjadi proses perpindahan massa (air) dari lingkungan ke dalam sayuran dan buah melalui proses difusi. Perpindahan massa secara difusi dari luar kedalam sayuran dan buah akan menjadi lebih optimal pada saat stomata atau lentisel membuka, sehingga air bisa berdifusi sebanyak-banyaknya, dengan proses inilah yang menyebabkan bobot dari bayam menurun dan meningkat.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1  Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang telah di dapat pada praktikum ini, maka dapat disimpulkan bahwa:
1.      Metode Crisping adalah metode penyegaran dengan 2 tahapan, pertama perendaman dengan suhu 30°C, 40°C, 50°C,  kedua pendinginan dengan suhu ±5°C.
2.      Dengan proses crisping bobot sayuran akan menurun, karena perpindahan massa air.
3.      Suhu yang efektif untuk metode crisping adalah 30°C - 40°C

5.2  Saran
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, maka disarankan untuk peralatan yang ada pada praktikum lebih ditambah agar tidak bergantian pada saat penimbangan dan proses praktikum yang dilakukan praktikan berjalanan dengan lancar.





DAFTAR PUSTAKA
Supartha,2007. Teknologi Pasca Panen.
http://www.scribd.com/doc/23495838/paska-panen  [20-11-2014].
Kays, 1991. Teknik Penanganan Pasca Panen.
http://www.ftp.unud.ac.id/laboratorium-pascapanen-hortikultura [ 20 - 11 - 2014]
Panduan Praktikum Teknik Pascapanen Hortikultura. Jurusan Teknik Pertanian.
Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Syiah Kuala. Banda aceh
Shewfelt, 1990. Crisping Produk Hortikultura.
http://habibahsoraya.blogspot.com/2012/03/crisping-produk - hortikultura.html [20-11-2014].







Tidak ada komentar:

Posting Komentar