CRISPING PADA PRODUK
HORTIKULTURA SAYURAN BERDAUN
PERCOBAAN IV
( Teknologi Hasil Hortikultura )
Kelompok : 5
Arie
D.D.S B1314003
M.Khoiril Anwar B1314020
Aspianor B1314006
M.Irfan
Ansari B1314018
PROGRAM
STUDI TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
POLITEKNIK
NEGERI TANAH LAUT
PELAIHARI
2016
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Produk pasca
panen berupa sayuran daun segar sangat diperlukan oleh tubuh manusia sebagai
sumber vitamin dan mineral, namun sangat mudah mengalami kemunduran yang dicirikan
oleh terjadinya proses pelayuaan yang cepat. Banyak laporan menyebutkan bahwa
susut pasca panen relative sangat tinggi yaitu berkisar 40%-50% khusunya
terjadi dinegara-negara sedang berkembang. Salah satu penyebab terjadinya
pelayuan adalah karena adanyan proses transpirasi atau penguapan air yang
tinggi melalui bukaan-bukaan alami seperti stomata, hidatoda, dan lentisel yang
tersedia pada permukaan dari produk sayuran daun tersebut. Kadar air (85-98%)
dan rasio antara luas permukaan dengan berat yang tinggi dari produk
memungkinkan laju penguapan air berlangsung tinggi sehingga proses pelayuan
dapat terjadi dengan cepat.
Selain factor
internal produk, factor eksternal produk seperti suhu, kelembapan, serta
kecepatan aliran udara berpengaruh terhadap kecepatan pelayuan. Mekanisme
membuka dan menutupnya bukaan-bukaan alami pada permukaan produk seperti
stomata dipengaruhi oleh suhu produk. Pada kondisi dimana suhu poduk relative
tinggi maka buka-bukaan alami cendrung membuka dan sebaliknya pada keadaan
suhunya relative rendah maka bukaan alami mengalami penutupan. Tingginya
kandunga air produk menyebabkan tekanan uap air dalam produk selalu dalam
keadaan tinggi dan bila kelembaban udara atau tekanan uap air diudara rendah
maka akan terjadi deficit tekanan uap air yang menyebabkan perpindahan
air dalam produk keudara sekitarnya.
Bila
sebaliknya, tekanan uap air diluar lingkungan produk lebih tinggi maka akan
terjadi pergerakan air dari luar kedalam produk. Sangat memungkinkan untuk
mendifusikan air kedalam produk semaksimal mungkin untuk menyegarkan
kembali dengan mengatur tekanan air serta mengendalikan mekanisme membuka dan
menutupnya bukaan alami, dimana proses penyegaran ini dikenal dengan
crisping .
1.2
Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk mempelajari
peningkatan pemahaman kegunaan proses crisping dalam meningkatkan mutu fisik kesegaran
produk, mampu melaksanakan prosedur crisping dan mampu menganalisis terjadinya
crisping.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Produk
pasca panen hortikultura berupa sayuran daun segar sangat
diperlukan oleh tubuh manusia sebagai sumber vitamin dan mineral namun sangat
mudah mengalami kemunduran yang dicirikan oleh terjadinya proses pelayuan yang
cepat. Efektifitas crisping untuk memperbaiki vigoritas dan kesegaran dengan
cara mencelupkan ke dalam air hangat dengan ragam suhu 30°C
- 50°C
dan lama perendaman 1-7 menit spesifik terhadap jenis produk yang erat
kaitannya dengan struktur fisik-morfologisnya.
Secara
umum proses crisping sayuran selada kriting, kangkung, bawang prei dan
sawi cina dengan pencelupan ke dalam air panas 30°C
- 40°C
efektif untuk penyegaran kembali dilihat dari mutu warna, tekstur dan
mutu visual secara keseluruhan, namun efektifitas optimum dari lama
pencelupannya tergantung pada jenis produk sayurannya. Proses
crisping dengan menggunakan suhu perendaman 50°C
tidak efektif dan justru berakibat pada penurunan mutu.
Proses
crisping dengan suhu perendaman 30°C
dan 40°C selama 1-3 menit terhadap selada kriting dan
bawang prei cukup efektif memberikan pengaruh penyegaran mutu, dan adanya
peningkatan lama perendaman cenderung tidak memberikan efek penyegaran
berarti. Pada kangkung dan sawi cina, perendaman pada suhu 30°C
dan 40°C selama 7 menit (Supartha,2007).
Secara
umum suhu 45°C adalah suhu maksimum kritis bagi produk
hortikultura karena mulai pada suhu tersebut produk sangat mengalami kemunduran
dimana laju respirasi turun drastis dan cenderung menuju pada pelayuan dan
kematian bila suhu ditingkatkan. Dengan karateristik morfologinya, bawang prei
dan sawi cina yang telah meningkat suhunya sulit untuk didinginkan dengan cepat
sehingga proses respirasi dan transpirasi masih berlangsung tinggi yang
berakibat pada penurunan bobot yang lebih tinggi dibandingkan dengan produk
yang hanya dicelup pada suhu 30°C.
Suhu
yang tinggi pada bagian tengah produk, sebagai akibat tidak dilakukan
pendinginan yang cepat sebelum dilakukan penyimpanan dalam ruang berpendingin
atau pre-cooling, menyebabkan laju respirasi dan transpirasi yang tinggi
(Shewfelt, 1990). Proses crisping yang dilakukan terdiri dari dua tahapan
yaitu tahap pertama, perendaman dengan air pada suhu diatas suhu kamar
tetapi dibawah suhu kritis (30 – 45°C), dengan waktu perendaman tertentu.
Tahap kedua
adalah pendinginan pada suhu dibawah 5°C. Menurut Kays (1991), pada kondisi dimana suhu suatu bahan hasil
pertanian meningkat (lebih besar dari suhu lingkungannya) maka stomata atau
lentiselnya cendrung membuka dan sebaliknya pada keadaan suhu relatif rendah
maka stomata atau lentiselnya mengalami penutupan. Perlakuan perendaman akan
mengakibatkan suhu sayuran dan buah mengalami peningkatan, sehingga
dengan kondisi tersebut, stomata atau lentiselnya akan membuka.
Disaat yang
bersamaan lebih tingginya suhu air di lingkungan luar dibandingkan dengan suhu
air dalam sayuran dan buah, mengakibatkan tekanan uap air dilingkungan pun
menjadi lebih besar dari tekanan uap dalam sayur kailan, sehingga terjadi
proses perpindahan massa (air) dari lingkungan ke dalam sayuran dan buah
melalui proses difusi. Perpindahan massa secara difusi dari luar kedalam
sayuran dan buah akan menjadi lebih optimal pada saat stomata atau lentisel
membuka, sehingga air bisa berdifusi sebanyak-banyaknya.
BAB III
METODE
3.1
Waktu dan Tempat
Praktikum
ini dilaksanakan pada hari Senin tanggal 14 Maret 2016 pukul 15.00 - 16.00 WITA di Laboratorium Pangan Teknologi Industri Pertanian
Politeknik Negeri Tanah Laut.
3.2
Alat dan Bahan
3.2.1
Alat
Alat yang digunakan pada praktikum
pembuatan
crisping pada produk hortikultura sayuran berdaun adalah kompor gas, panci,
thermometer, neraca analitik, tali rafia.
3.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan pada praktikum
ini adalah bayam, kangkung, selada, seledri, sawi.
3.3
Prosedur Kerja
1.
Tentukan dua jenis sayuran bahan praktikum sesuai dengan
ceriteria layu diatas.
2.
Potong atau pangkas bagian daun bahan yang rusak fisik,
layu, fisiologis, dan busuk.
3.
Tentukan jumlah sample untuk setiap unit percobaan dan
setiap unit percobaan diikat dengan tali rafia atau tali lainnya dan bukan
karet.
4.
Disiapkan air hangat dengan menggunakan water bath dan
suhu air diatur terpisah berturut – turut 30°C, 40°C, dan 50°C.
5.
Dicelupkan sayuran bahan percobaan dengan waktu berbeda
yaitu 1,3 dan 5 menit.
6.
Disiapkan control yaitu sayuran tanpa dicelupkan dalam
air hangat diatas.
7.
Ditempatkan sayuran yang telah dicelupkan diatas
secepatnya kedalam kulkas pada bagian chiller dengan perkiraan suhu ± 5°C.
8.
Dilakukan penyimpanan sayuran bahan percobaan tersebut
didalam kulkas selama semalaman atau 24 jam.
9.
Setelah penyimpanan dalam kulkas diatas. Amati mutu
secara subjektif meliputi warna, tekstur, dan kenampakan visual secara
keseluruhan dengan menggunakan ceriteria dan skalan numeric pada tabel pada
variabel pengamatan. Pengamatan secara objektif dilakukan terhadap bobot sayuran sebelum dan sesudah crisping.
PB : Perubahan bobot (%) ( PB = Bb – Ba )
Ba : Bobot sebelum crisping
Bb : Bobot setelah crisping
BAB IV
HASIL
DAN PEMBAHASAN
4.1
Hasil
Tabel 1.1 hasil perubahan bobot pada
perlakuan crisping.
Suhu
|
Waktu
|
Berat Sesudah
|
Berat Sebelum
|
PB
(%)
|
50°C
|
1 menit
|
8,53 g
|
7,76 g
|
0,77
|
3 menit
|
8,05 g
|
6,84 g
|
1,21
|
|
5 menit
|
7,68 g
|
7,40 g
|
0,28
|
|
40°C
|
1 menit
|
11,22 g
|
10,73 g
|
0,49
|
3 menit
|
5,67 g
|
5,28 g
|
0,39
|
|
5 menit
|
9,28 g
|
8,66 g
|
0,62
|
|
30°C
|
1 menit
|
7,70 g
|
9,00 g
|
-1,30
|
3 menit
|
15,55 g
|
16,27 g
|
-0,73
|
|
5 menit
|
12,71 g
|
14,28 g
|
-1,57
|
|
|
Control
|
6,77 g
|
8,11 g
|
-1,34
|
Tabel 1.2 skor hasil pengamatan warna,
tekstur, dan kualitas visual secara keseluruhan.
Suhu
|
Waktu
|
Warna
|
Tekstur
|
Visual
|
50°C
|
1 menit
|
3
|
4
|
4
|
3 menit
|
4
|
4
|
4
|
|
5 menit
|
3
|
3
|
3
|
|
40°C
|
1 menit
|
4
|
4
|
4
|
3 menit
|
4
|
4
|
4
|
|
5 menit
|
4
|
4
|
4
|
|
30°C
|
1 menit
|
4
|
4
|
3
|
3 menit
|
3
|
3
|
2
|
|
5 menit
|
4
|
2
|
2
|
|
|
Control
|
3
|
2
|
2
|
4.2
Pembahasan
Dari praktikum yang telah dilakukan, dapat terlihat perbedaan perubahan bobot
dari masing-masing suhu (Tabel 1). Rata-rata semua suhu dan sampel mendapatkan
bobot yang bertambah dan turun antara 8,53 sampai 7,76 gr sedangkan bayam yang
tidak mendapatkan perlakuan atau bayam control bobotnya meningkat. Hal
ini disebabkan karena Proses crisping yang dilakukan terdiri dari dua
tahapan yaitu tahap pertama, perendaman dengan air pada suhu diatas suhu kamar
tetapi dibawah suhu kritis (50 – 30°C), dengan waktu perendaman tertentu. Tahap kedua adalah pendinginan
pada suhu dibawah ±5°C. Menurut Kays
(1991), pada kondisi dimana suhu suatu bahan hasil pertanian meningkat (lebih
besar dari suhu lingkungannya) maka stomata atau lentiselnya cendrung membuka
dan sebaliknya pada keadaan suhu relatif rendah maka stomata atau lentiselnya
mengalami penutupan.
Perlakuan perendaman akan mengakibatkan suhu sayuran dan buah mengalami
peningkatan, sehingga dengan kondisi tersebut, stomata atau lentiselnya akan
membuka. Disaat yang bersamaan lebih tingginya suhu air di lingkungan luar dibandingkan
dengan suhu air dalam sayuran dan buah, mengakibatkan tekanan uap air
dilingkungan pun menjadi lebih besar dari tekanan uap dalam sayur,
sehingga terjadi proses perpindahan massa (air) dari lingkungan ke dalam
sayuran dan buah melalui proses difusi. Perpindahan massa secara difusi dari
luar kedalam sayuran dan buah akan menjadi lebih optimal pada saat stomata atau
lentisel membuka, sehingga air bisa berdifusi sebanyak-banyaknya, dengan proses
inilah yang menyebabkan bobot dari bayam menurun dan meningkat.
BAB V
KESIMPULAN
DAN SARAN
5.1
Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang telah di
dapat pada praktikum ini, maka dapat disimpulkan bahwa:
1.
Metode Crisping adalah
metode penyegaran dengan 2 tahapan, pertama perendaman dengan suhu 30°C, 40°C, 50°C, kedua pendinginan dengan suhu ±5°C.
2.
Dengan proses crisping bobot
sayuran akan menurun, karena perpindahan massa air.
3.
Suhu yang efektif untuk metode
crisping adalah 30°C - 40°C
5.2
Saran
Berdasarkan praktikum yang telah
dilakukan, maka disarankan untuk peralatan yang ada pada praktikum lebih
ditambah agar tidak bergantian pada saat penimbangan dan proses praktikum yang
dilakukan praktikan berjalanan dengan lancar.
DAFTAR PUSTAKA
Supartha,2007. Teknologi Pasca Panen.
http://www.scribd.com/doc/23495838/paska-panen [20-11-2014].
Kays, 1991. Teknik Penanganan Pasca Panen.
http://www.ftp.unud.ac.id/laboratorium-pascapanen-hortikultura [ 20 - 11 - 2014]
Panduan Praktikum Teknik Pascapanen Hortikultura.
Jurusan Teknik Pertanian.
Fakultas
Teknologi Pertanian. Universitas Syiah Kuala. Banda aceh
Shewfelt, 1990. Crisping Produk Hortikultura.
http://habibahsoraya.blogspot.com/2012/03/crisping-produk - hortikultura.html
[20-11-2014].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar